“IJAZAH DITAHAN, MARTABAT DITAWAR: MAY DAY DAN NARASI SENGKARUT NASIB BURUH INDONESIA
"May Day 2025: Menuntut Kebebasan Buruh dari Penahanan Ijazah dan Penindasan Sistemik"
penulis: Fharel Musyaffa Adina
Mahasiswa Pendidikan Sejarah, Universitas Negeri Padang (UNP)
Setiap 1 Mei, langit Indonesia disemarakkan dengan suara peluit, poster-poster tuntutan, dan derap langkah solidaritas. Hari Buruh Internasional atau May Day menjadi ajang refleksi sekaligus pengingat bahwa di balik gemerlap pembangunan, masih banyak peluh yang tak terlihat dan jeritan yang tak terdengar. Namun, yang membuat kita mengernyit bukan hanya janji kosong dari penguasa, tetapi praktik-praktik ketenagakerjaan yang seharusnya sudah mati di zaman kolonial, ternyata masih hidup dan subur di abad ke-21. Salah satu contohnya: penahanan ijazah oleh perusahaan.
Ijazah, bagi seorang buruh, bukan sekadar kertas. Ia adalah hasil perjuangan, simbol harga diri, dan modal untuk meraih masa depan yang lebih baik. Namun, di negeri ini, ijazah bisa berubah fungsi menjadi alat penyanderaan. Sejumlah perusahaan menahan ijazah karyawan dengan alasan menjaga loyalitas dan menghindari "kaburnya" pekerja. Praktik ini, seperti dilaporkan MetroTV dalam tayangan “Ijazah Ditahan, Buruh Dirugikan”, tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga mencederai nilai-nilai kemanusiaan.
Buruh Dalam Belenggu Kuasa
Dari perspektif sosiologis, ini bukan sekadar kasus HRD yang terlalu ketat. Ini adalah potret dominasi kelas dalam bingkai teori konflik Karl Marx—di mana pemilik modal (borjuis) memegang kendali penuh terhadap kelas pekerja (proletar), bahkan hingga ke wilayah privat. Dalam hubungan kerja yang timpang ini, buruh dianggap sebagai bagian dari mesin produksi, bukan subjek yang punya hak.
Teori fungsionalisme milik Émile Durkheim juga menunjukkan bahwa praktik seperti ini adalah bentuk disfungsi sosial. Ketika perusahaan menahan hak pribadi pekerja, maka stabilitas dan solidaritas sosial terganggu. Buruh menjadi tidak percaya pada sistem, dan yang muncul adalah apatisme, kemarahan, dan frustasi kolektif.
Dari sudut pandang interaksionisme simbolik, penahanan ijazah tak ubahnya upaya untuk mengontrol identitas. Ijazah bukan hanya dokumen, tapi simbol harapan dan posisi sosial. Ketika itu ditahan, buruh kehilangan ruang untuk membentuk makna atas dirinya sendiri. Apalagi bagi buruh perempuan, praktik ini bisa menjadi bentuk penindasan ganda, karena mereka sering kali juga dibayangi ketidakadilan berbasis gender.
Negara Ada, Tapi Tak Hadir
Lebih menyedihkan lagi, praktik ini sering kali dibiarkan. Pemerintah seolah hadir dalam bentuk peraturan, tapi absen dalam implementasi. Aparat pengawas ketenagakerjaan sering kekurangan personel, tidak independen, atau bahkan enggan bersentuhan dengan perusahaan besar. Padahal secara hukum, penahanan ijazah tanpa dasar yang jelas merupakan pelanggaran terhadap hak sipil.
Kondisi ini semakin memperparah realitas buruh di Indonesia. Di tengah upah minimum yang tak sebanding dengan biaya hidup, sistem outsourcing dan kontrak jangka pendek, serta tekanan kerja yang tinggi, buruh masih juga harus menyerahkan simbol pendidikan mereka hanya demi bisa bekerja. Ini bukan hanya bentuk ketidakadilan, tapi juga pengingkaran terhadap cita-cita bangsa yang ingin mencerdaskan kehidupan rakyat.
May Day: Saatnya Beranjak dari Seremonial
May Day di Indonesia sering kali dirayakan dengan gegap gempita: long march, panggung orasi, bahkan konser musik. Tapi pertanyaannya: apa yang benar-benar berubah setelah itu? Jangan sampai May Day hanya menjadi panggung seremonial tahunan yang penuh simbol, tapi kosong makna. Momentum ini harus menjadi bahan bakar untuk menuntut perubahan sistemik dan konkret.
Menuju Solusi yang Substansial
Ada beberapa langkah nyata yang bisa dan harus dilakukan:
1. Penegakan hukum tegas terhadap perusahaan yang menahan ijazah, dengan ancaman sanksi pidana dan denda administratif.
2. Reformasi sistem pengawasan ketenagakerjaan agar lebih aktif, independen, dan merata di seluruh sektor.
3. Digitalisasi dokumen pendidikan dan sistem verifikasi, sehingga tidak ada lagi alasan menahan ijazah fisik.
4. Pendidikan hukum tenaga kerja bagi buruh, agar mereka tahu hak-haknya dan mampu melawan ketidakadilan.
5. Revisi UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja, yang saat ini lebih berpihak pada iklim investasi daripada martabat pekerja.
Penutup: Buruh Adalah Tulang Punggung, Bukan Tumbal Sistem
Buruh bukan sekadar angka produktivitas dalam tabel ekonomi. Mereka adalah manusia dengan harapan, keluarga, dan mimpi yang layak diperjuangkan. Menahan ijazah mereka berarti menahan hak mereka untuk tumbuh. Dan membiarkan praktik ini berarti kita semua sedang ikut andil dalam kekerasan yang dilembagakan.
Mari jadikan May Day bukan sekadar peringatan, tapi awal kebangkitan. Bangkit untuk menolak penindasan yang dibungkus aturan. Bangkit untuk menagih janji negara yang katanya hadir untuk rakyat. Dan bangkit untuk memastikan bahwa ke depan, tak ada lagi buruh yang harus memilih antara pekerjaan dan martabat.
Karena kerja seharusnya membebaskan, bukan mengekang.
Komentar
Posting Komentar