Ketika Bahagia Hanya Tentang Dia, dan Aku Kehilangan Aku Sendiri




Sebuah Harapan yang Tak Terucapkan

karya: fharel musyaffa adina

Ada masa dalam hidupku ketika satu nama menjadi pusat dari segala harapan dan kebahagiaan. Segala tawa, setiap senyum, bahkan alasan aku bisa bertahan setiap harinya berakar pada dia. Tapi aku salah. Aku melakukan kesalahan yang tak hanya merenggut dia dariku, tetapi juga perlahan merampas diriku sendiri.

Aku menyadari, dalam kesalahan yang kulakukan, aku tak hanya kehilangan dia—aku kehilangan diri sendiri. Kesalahan yang dulu kuanggap remeh, kini menjadi luka yang menghancurkan. Aku mencoba untuk memperbaiki semuanya, membangun kembali apa yang telah hancur, berharap dia bisa melihat usaha dan perubahan dalam diriku. Namun, ia memilih untuk pergi. Ia memilih untuk diam. Dan yang lebih menyakitkan adalah kenyataan bahwa ia memilih untuk tertawa—bukan lagi denganku.

Sementara dia dikelilingi oleh teman-temannya, menikmati kebahagiaan mereka, aku hanya bisa duduk dalam kesunyian malam, menanti dia yang semakin menjauh. Bukan karena aku tak tahu caranya pergi, tetapi karena aku belum siap kehilangan satu-satunya alasan aku merasa “pulang.” Aku menunggu, bukan karena aku bodoh, tapi karena aku berharap—harapan yang meski rapuh tetap terjaga—bahwa cinta yang pernah kita miliki bisa menyentuh hatinya kembali. Namun, waktu tak pernah menunggu siapapun. Setiap detik yang berlalu semakin membuatku sadar bahwa aku tak hanya kehilangan dia, aku juga kehilangan diriku sendiri.

Dulu, dunia terasa luas. Sekarang, segalanya menyempit pada satu nama, satu wajah, satu kemungkinan yang tak pasti. Aku lupa rasanya bahagia hanya karena diriku sendiri. Aku menggantungkan seluruh kebahagiaanku padanya, hingga akhirnya, dia memadamkan cahaya yang pernah ada.

Namun, di tengah luka yang menganga, aku mulai menyadari satu hal yang menyakitkan: bahwa cinta yang sejati tidak bisa membuat kita kehilangan diri sendiri. Menunggu seseorang yang tidak ingin kembali hanya akan menghancurkan jiwa yang sudah lelah. Aku masih mencintainya. Mungkin akan selalu. Tapi aku juga harus belajar mencintai diriku yang sudah terluka karenanya. Jika aku terus tenggelam dalam penantian ini, aku tidak hanya akan kehilangan dia—aku juga akan kehilangan aku yang dulu.

Melepaskan bukan berarti berhenti mencintai. Tapi terkadang, melepaskan adalah bentuk cinta tertinggi pada diri sendiri. Aku harus belajar untuk berdiri kembali, meskipun rasanya begitu berat. Dan meskipun kesedihan itu terus menghantui, aku tahu bahwa melepaskan adalah langkah yang harus kuambil, demi diri aku sendiri.

Namun, di dalam ruang hampa ini, ada satu harapan yang masih bertahan: aku ingin dia kembali. Bukan untuk mengulang masa lalu, tetapi untuk membangun sesuatu yang lebih kuat dan lebih tulus. Aku ingin dia tahu bahwa aku tidak hanya menyesali kesalahanku, tetapi aku juga berusaha untuk memperbaiki diriku. Aku berharap suatu saat nanti, dia akan melihat perubahan itu, melihat usaha yang kuperjuangkan, dan melihat bahwa aku bukan hanya seseorang yang telah gagal, tetapi seseorang yang belajar dari kegagalannya.

Aku berharap dia kembali, bukan untuk mengulang apa yang hilang, tapi untuk melihat bagaimana kita bisa membangun kembali hubungan kita dengan lebih banyak pengertian, lebih banyak cinta, dan lebih banyak kebahagiaan yang datang bukan hanya dari dia, tapi juga dari bagaimana kita menghadapinya bersama.

Namun, aku tahu aku tidak bisa memaksanya untuk kembali. Harapan ini mungkin hanya akan tetap menjadi harapan yang tak terucapkan. Tapi seperti lagu Sadrah dari For Revenge, aku merasa bahwa perasaan ini begitu dalam dan tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Lagu itu berbicara tentang kesedihan, kehilangan, dan penantian tanpa akhir. Seperti lirik dalam lagu itu, aku pun merasakan kekosongan yang mendalam setiap kali aku teringat padanya. Rasa rindu dan penyesalan yang terus menerus menghantui setiap langkahku.

Lagu Sadrah menggambarkan tentang menunggu tanpa kepastian, tentang berharap meski dalam kesakitan. Liriknya mengalun dengan begitu melankolis, mencerminkan perasaan yang tak terungkapkan. Sama seperti aku, yang berharap suatu hari nanti dia akan kembali, bukan untuk mengulang apa yang hilang, tetapi untuk memulai sesuatu yang baru—yang lebih kuat dan lebih penuh cinta.

Namun, seperti dalam lagu itu, aku tahu bahwa waktu akan terus berjalan, dan aku harus belajar untuk melepaskan, meskipun perasaan itu tetap ada. Aku harus menerima kenyataan bahwa terkadang cinta yang paling besar adalah cinta yang rela melepaskan, meski rasanya sangat sulit. Seperti lirik Sadrah yang berulang, aku akan terus berharap, meski aku tahu bahwa terkadang harapan itu hanya akan tetap menjadi kenangan.

Pada akhirnya, cinta sejati adalah tentang melepaskan dan menerima, tentang memberikan ruang untuk diri kita berkembang, bahkan ketika perasaan kita terikat pada kenangan yang tak bisa diulang lagi. Mungkin, pada suatu saat nanti, dia akan melihatku kembali—dengan cara yang berbeda, dengan hati yang lebih terbuka. Dan jika itu tidak terjadi, setidaknya aku akan tahu bahwa aku sudah berusaha untuk memperbaiki segalanya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

"Dalam Gema Cinta yang Tak Terpadamkan: Refleksi dari Lagu 'Bergema Sampai Selamanya' Karya Nadhif Basamalah"

“IJAZAH DITAHAN, MARTABAT DITAWAR: MAY DAY DAN NARASI SENGKARUT NASIB BURUH INDONESIA