Deep Learning: Antara Cita-cita Langit dan Realitas Lumpur Pendidikan Indonesia
Pendidikan Indonesia sedang mencoba menapaki jalan baru. Dalam wawancara bersama MetroTV, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, dengan optimisme yang tinggi, memaparkan pentingnya pendekatan deep learning sebagai arah baru transformasi pendidikan. Gagasan ini patut diapresiasi: pendidikan yang tidak sekadar menghafal, tetapi mendorong pemahaman mendalam, pemikiran kritis, dan penerapan nyata dalam kehidupan.
Namun, sebagaimana sering terjadi dalam wajah kebijakan negeri ini, semangat langit kerap terjebak dalam lumpur realitas.
Kurikulum Hebat, Beban Melekat
Pemerintah ingin menyederhanakan kurikulum. Tapi di ruang kelas, guru masih dikejar target menyelesaikan silabus padat. Alih-alih mengajar dengan mendalam, mereka sibuk menyulap waktu agar semua materi tersampaikan, meski murid belum paham.
Inilah paradoks pendidikan kita: ingin mendalam, tapi tak punya waktu menyelam. Sementara itu, perdebatan publik lebih ramai soal seragam baru daripada substansi kurikulum.
Guru Sebagai Fasilitator? Dengan Pelatihan Apa?
Guru digadang-gadang menjadi agen perubahan, fasilitator deep learning. Tapi pertanyaannya: dengan pelatihan yang mana? Banyak guru belum pernah mendengar istilah deep learning, apalagi mengaplikasikannya. Mereka berjibaku dengan laporan administrasi, platform digital yang tak ramah, dan pelatihan yang lebih sering formalitas.
Bagaimana mungkin kita berharap guru membimbing eksplorasi konsep jika mereka sendiri tersesat dalam sistem yang tidak memberdayakan?
Teknologi? Canggih di Kota, Sunyi di Desa
Pemanfaatan teknologi pendidikan terdengar menjanjikan. Tapi itu hanya berlaku bagi mereka yang berada di zona sinyal kuat dan sekolah beranggaran. Di banyak wilayah 3T, belajar daring masih seperti mimpi dalam iklan operator.
Ketika kota bicara “AI dalam pembelajaran”, desa bertanya: “Modul cetak saja kami belum dapat.” Maka ketimpangan itu makin melebar—dan teknologi yang seharusnya menjadi jembatan, malah berubah menjadi jurang.
Penilaian Holistik: Bagus di Makalah, Buruk di Kenyataan
Konsep penilaian holistik memang menarik: tidak hanya menilai hasil, tapi juga proses, sikap, dan keterampilan. Tapi sistem pendidikan kita masih terobsesi pada angka. Siswa dinilai dari ujian tulis, bukan proses berpikir. Guru menilai karena kewajiban, bukan karena pemahaman.
Maka pertanyaannya: apakah kita sedang membentuk manusia merdeka, atau sekadar robot yang patuh pada rubrik?
Jangan Jual Mimpi Jika Tak Siap Bangun
Pendidikan kita sedang dihadapkan pada pilihan besar: terus berjalan dengan sistem yang tambal sulam, atau benar-benar membongkar dan membangun ulang pondasi yang adil, merata, dan bermakna.
Gagasan deep learning bisa menjadi jalan emas. Tapi jika tidak dibarengi perbaikan infrastruktur, pelatihan guru yang merata, dan keberanian memangkas birokrasi, maka semua itu hanya akan jadi retorika kosong. Seperti biasa, pemerintah sibuk menjual mimpi, tapi lupa membangunkan rakyatnya.
Jika pendidikan adalah investasi masa depan, maka saat ini kita terlalu sering menyimpan modalnya di rekening yang tak pernah dicairkan.
Komentar
Posting Komentar