Gen Z, Buku Kiri, dan Tantangan Apatisme terhadap Globalisasi


 


Di tengah lanskap sosial yang makin tidak pasti, generasi Z tumbuh dalam dunia yang penuh paradoks: akses informasi terbuka lebar, tapi masa depan terasa makin sempit. Ketimpangan ekonomi memburuk, krisis iklim menghantui, pekerjaan makin tidak pasti, dan struktur sosial warisan generasi sebelumnya tak lagi menjawab kebutuhan zaman. Dalam situasi seperti ini, tak mengherankan jika banyak anak muda mulai melirik pemikiran kiri—bukan hanya sebagai wacana alternatif, tetapi sebagai alat untuk memahami dan menantang sistem yang dianggap gagal memberi keadilan.

Minat Gen Z terhadap buku-buku kiri seperti karya Marx, Paulo Freire, atau bell hooks bukan sekadar tren akademik. Ia lahir dari keresahan yang nyata: mengapa kerja keras tak menjamin kehidupan layak? Mengapa bumi rusak tapi perusahaan besar terus meraup untung? Mengapa struktur sosial masih penuh penindasan meskipun kita hidup di era yang katanya “modern”? Pertanyaan-pertanyaan ini mendorong generasi muda mencari jawaban yang tidak ditawarkan oleh kurikulum formal atau media arus utama—jawaban yang sering kali ditemukan dalam buku-buku kiri.

Namun, pemikiran kiri yang digemari Gen Z saat ini bukanlah salinan mentah dari Marxisme abad ke-19. Ia mengalami transformasi besar. Generasi ini menggabungkannya dengan wacana feminisme, antirasisme, ekologi radikal, bahkan kritik terhadap kapitalisme digital. Inilah yang membuat pemikiran kiri kini terasa lebih relevan dan kontekstual. Ia hidup di media sosial, muncul dalam meme, resensi buku, hingga diskusi TikTok dan podcast.

Tetapi di balik semangat progresif ini, ada ironi yang patut dicermati: sikap apatis sebagian Gen Z terhadap globalisasi. Globalisasi, meskipun penuh cacat, tetap menjadi kekuatan utama yang membentuk ekonomi, politik, dan budaya hari ini. Sayangnya, banyak anak muda yang bersikap pasif terhadapnya—menganggap globalisasi sebagai sesuatu yang “sudah terjadi” dan tak bisa dilawan, alih-alih sebagai sistem yang perlu dikritisi secara aktif.

Apatisme ini muncul dalam bentuk ketidakpedulian terhadap konflik global, eksploitasi tenaga kerja di negara berkembang, atau krisis pengungsi akibat perang dan perubahan iklim. Banyak yang menyuarakan isu keadilan sosial secara lokal, namun kurang menaruh perhatian pada dimensi global dari penindasan yang sama. Ini adalah kontradiksi: mengutip teori kiri tapi tidak memperluas analisis ke tataran global berarti kehilangan separuh konteks perjuangan itu sendiri.

Sebagai generasi digital, Gen Z punya kekuatan besar untuk menembus batas-batas nasional—baik dalam hal solidaritas maupun advokasi. Tetapi kekuatan itu akan sia-sia jika tidak dibarengi dengan kesadaran global dan pemahaman bahwa kapitalisme, patriarki, dan kolonialisme tidak mengenal batas negara.

Oleh karena itu, semangat membaca buku kiri harus dibarengi dengan kritik terhadap sikap pasif terhadap globalisasi. Pemikiran kiri sejati adalah yang mampu membaca relasi kuasa lintas batas, melihat keterhubungan antara penindasan lokal dan sistem global, dan mendorong solidaritas yang melampaui identitas sempit.

Minat Gen Z terhadap pemikiran kiri adalah sinyal positif bagi masa depan wacana kritis. Namun, agar tidak jatuh ke dalam aktivisme simbolik atau konsumsi estetika belaka, minat ini harus dikembangkan ke arah yang lebih tajam, global, dan terlibat. Membaca kiri bukan hanya soal menolak kapitalisme, tapi juga soal memahami dunia dalam jaring yang lebih kompleks—dan bertindak dari sana.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

"Dalam Gema Cinta yang Tak Terpadamkan: Refleksi dari Lagu 'Bergema Sampai Selamanya' Karya Nadhif Basamalah"

Ketika Bahagia Hanya Tentang Dia, dan Aku Kehilangan Aku Sendiri

Menjaga Mata Air Pengkaderan: Refleksi dan Kenangan Penuh Warna dari Forum Rangkiang Palito – Training LK 2 HMI Cabang Padang