Mahasiswa Hari Ini: Diam di Menara Gading, Bisu di Tengah Derita Rakyat
Dulu, mahasiswa dikenal sebagai “agent of change” penggerak perubahan, penyalur suara rakyat yang tak terdengar, garda depan dalam melawan tirani. Mereka turun ke jalan bukan demi citra, tapi karena nurani. Mereka memprotes, berorasi, bahkan ditangkap, bukan demi konten, tapi karena kesadaran. Namun hari ini, gema semangat itu terdengar makin lirih, nyaris hilang ditelan gemerlap pencitraan dan kenyamanan individualisme kampus.
Kita sedang hidup dalam masa ketika harga pangan melonjak, ruang hidup petani dan nelayan dirampas, buruh dibayar murah, dan korupsi dijalankan seperti rutinitas administratif. Tapi ironisnya, di tengah semua itu, suara mahasiswa justru senyap. Yang dulunya menjadi pelopor perlawanan, kini lebih sering tenggelam dalam rutinitas akademik yang steril dari realitas, sibuk dengan seminar pengembangan diri, lomba konten, atau mengejar magang di perusahaan yang mungkin justru ikut merusak lingkungan atau memeras tenaga kerja murah.
Apakah idealisme hanya tinggal catatan sejarah di diktat organisasi kampus?
Tidak salah memang jika mahasiswa ingin sukses secara personal. Namun, saat keberhasilan individu lebih dipuja daripada perjuangan kolektif, saat naik panggung wisuda dianggap lebih penting daripada turun ke jalan membela rakyat, maka peran mahasiswa sebagai kekuatan moral bangsa mulai kehilangan maknanya. Yang lebih menyakitkan adalah ketika sebagian mahasiswa mengolok aktivisme seolah-olah semua bentuk gerakan adalah sia-sia dan sok idealis. Mereka menyebut diri “realistis”, padahal yang mereka lakukan hanyalah berdamai dengan ketidakadilan.
Dan pada akhirnya, lahirlah generasi yang cerdas secara akademik tapi tumpul secara sosial, mampu membuat proposal skripsi tapi gagap memahami penderitaan rakyat. Mahasiswa yang begitu aktif di media sosial, namun begitu pasif saat keadilan diinjak-injak di depan mata.
Apakah kita akan terus membiarkan kampus menjadi menara gading yang terputus dari jerit rakyat?
Perlu diingat: sejarah tidak pernah menulis nama mereka yang diam. Ia mencatat mereka yang melawan, meski kalah. Maka pertanyaannya sederhana: di saat rakyat menjerit, di mana mahasiswa berdiri? Di barisan perlawanan, atau di balik layar gadget dengan komentar sinis tapi tanpa aksi?
Kritik ini bukan untuk meromantisasi masa lalu, tapi untuk mengingatkan: peran mahasiswa tidak pernah hilang, hanya ditinggalkan. Dan tugas kita bukan sekadar belajar untuk lulus, tapi belajar untuk berpihak. Karena dalam negara yang pincang, diamnya mahasiswa bukan netralitas—itu keberpihakan pada penindas.
Komentar
Posting Komentar