Hari Buruh Merayakan Apa, Sebenarnya?



Hari Buruh: Merayakan Apa, Sebenarnya?

Oleh:
Harul Mukri Ananta
Mahasiswa Pendidikan Sejarah UNP


Setiap 1 Mei, negara menyambut Hari Buruh Internasional dengan pernyataan normatif tentang pentingnya peran pekerja dalam pembangunan. Pidato-pidato penuh apresiasi menggema dari pejabat publik. Namun, di balik retorika itu, realitas kelas pekerja di Indonesia tetap berada dalam bayang-bayang ketidakpastian: upah murah, kerja kontrak tanpa kepastian, jam kerja panjang, serta ruang protes yang semakin dipersempit.
Peringatan Hari Buruh seharusnya menjadi momen untuk mengungkapkan ketimpangan struktural yang mengakar dalam sistem ketenagakerjaan kita. Sayangnya, yang terjadi justru banalitas perayaan yang kehilangan makna politis. Negara membingkai Hari Buruh sebagai bagian dari “sinergi pembangunan nasional,” namun mengabaikan bahwa pembangunan itu sering dibangun di atas tulang dan keringat pekerja yang tidak memperoleh perlindungan layak.
Pemerintah Indonesia kerap menegaskan komitmennya terhadap kesejahteraan buruh. Namun, ketika Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) disahkan pada 2020, justru kepentingan investorlah yang diutamakan. Melalui UU ini, pemutusan hubungan kerja (PHK) dipermudah, sistem kontrak diperlonggar, dan pesangon dipangkas. Buruh menjadi lebih rentan. Dalam satu tarikan napas, negara menghapus banyak capaian gerakan buruh yang diperjuangkan selama bertahun-tahun.
Pemerintah berdalih bahwa fleksibilitas tenaga kerja diperlukan untuk menciptakan lapangan kerja baru. Tapi logika ini problematis. Alih-alih menciptakan lapangan kerja berkualitas, yang tumbuh justru jenis-jenis kerja informal dan kontrak jangka pendek tanpa jaminan sosial. Ini adalah bentuk eksploitasi yang lebih canggih—eksploitasi yang dibungkus dalam bahasa efisiensi dan “adaptasi pasar tenaga kerja.”
Sementara itu, buruh yang menyuarakan tuntutan sering mendapat stigma subversif. Aksi unjuk rasa yang digelar tiap 1 Mei kerap dihadang aparat, dibatasi ruang geraknya, atau direduksi sebagai ancaman ketertiban umum. Negara tampak alergi terhadap suara kritik, padahal demokrasi semestinya memberi ruang seluas-luasnya bagi ekspresi politik rakyat, termasuk buruh.
Di sisi lain, transformasi digital juga menciptakan bentuk-bentuk baru eksploitasi. Pekerja ojek daring, kurir, dan konten kreator menjadi bagian dari “gig economy” yang sering dipuji karena fleksibilitasnya. Namun, di balik kebebasan waktu kerja yang dijanjikan, tersembunyi ketidakpastian upah dan ketiadaan perlindungan hukum. Mereka bukan pegawai tetap, tapi juga bukan pengusaha. Status hukum mereka abu-abu. Satu hal yang pasti: mereka bekerja tanpa jaring pengaman.
Fenomena ini bukan hanya soal ketenagakerjaan, tetapi juga soal arah politik ekonomi negara. Ketika negara lebih peduli pada indeks kemudahan berbisnis ketimbang indeks kesejahteraan buruh, maka sesungguhnya negara telah berpihak secara terang-terangan pada modal. Tidak mengherankan jika jurang ketimpangan ekonomi terus melebar. Menurut laporan Oxfam, 1% orang terkaya di Indonesia menguasai lebih dari separuh kekayaan nasional. Siapa yang membayar harga dari ketimpangan ini? Pekerja, tentu saja.
Sudah waktunya kita jujur melihat kenyataan.



 Peringatan Hari Buruh tidak akan bermakna selama negara terus memosisikan pekerja sebagai beban, bukan sebagai subjek utama pembangunan. Sudah saatnya kebijakan ketenagakerjaan disusun bukan hanya dengan logika pasar, tapi juga dengan perspektif keadilan sosial. Pemerintah harus berhenti menjadikan buruh sebagai objek statistik. Mereka adalah warga negara yang punya hak atas kerja yang layak, bukan sekadar roda dalam mesin ekonomi.
Gerakan buruh sendiri juga menghadapi tantangan internal: fragmentasi serikat, kurangnya kaderisasi, serta kooptasi oleh elite politik. Tapi kondisi ini tidak boleh dijadikan alasan untuk menafikan pentingnya suara kolektif mereka. Justru dalam kondisi serba tidak pasti ini, solidaritas antarburuh lintas sektor menjadi semakin mendesak. Tuntutan atas upah yang adil, jaminan sosial, dan pengakuan atas hak berserikat harus terus digaungkan.
Hari Buruh bukan sekadar tanggal merah dalam kalender. Ia adalah pengingat bahwa kerja bukanlah aktivitas netral. Di dalamnya terdapat relasi kuasa antara pemilik modal, negara, dan pekerja. Jika relasi ini timpang, maka tugas kita bukan merayakan, tapi menggugat. Peringatan Hari Buruh harus menjadi ruang untuk menyuarakan kemarahan kolektif atas sistem yang timpang, bukan seremoni yang meninabobokan. Kita tidak membutuhkan lebih banyak janji, tetapi keberanian untuk menuntut tatanan kerja yang adil dan manusiawi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

"Dalam Gema Cinta yang Tak Terpadamkan: Refleksi dari Lagu 'Bergema Sampai Selamanya' Karya Nadhif Basamalah"

Ketika Bahagia Hanya Tentang Dia, dan Aku Kehilangan Aku Sendiri

Menjaga Mata Air Pengkaderan: Refleksi dan Kenangan Penuh Warna dari Forum Rangkiang Palito – Training LK 2 HMI Cabang Padang