Menulis Sejarah, Menafsirkan Kuasa


Menulis Sejarah, Menafsirkan Kuasa
Oleh: Fharel Musyaffa Adina
Mahasiswa Pendidikan Sejarah, Universitas Negeri Padang (UNP)

> “Sejarah ditulis oleh para pemenang”

kutipan klasik ini tak lekang oleh waktu. Namun, dalam era demokratis, benarkah kita masih terus membiarkan satu versi kebenaran mendominasi narasi bangsa?

Penulisan sejarah bukanlah reproduksi masa lalu secara netral. Ia adalah proses penafsiran. Kepenulisan sejarah selalu melibatkan pemilihan sumber, sudut pandang, dan tujuan politik. Maka, memahami sejarah tidak cukup hanya dengan membaca “apa yang terjadi”, melainkan juga mempertanyakan bagaimana dan oleh siapa sejarah itu ditulis.

Kesadaran ini disebut berpikir historiografis kesadaran bahwa sejarah adalah konstruksi, bukan cermin realitas yang objektif. Sayangnya, dalam praktik pendidikan maupun penulisan sejarah di Indonesia, kesadaran ini masih sangat terbatas.

Narasi Resmi dan Ruang yang Hilang

Buku pelajaran sejarah di sekolah masih sarat dengan narasi tunggal. Penuh tokoh besar, tanggal-tanggal penting, dan kemenangan diplomasi atau militer. Tetapi jarang mengajak siswa berpikir tentang mengapa versi itulah yang dipilih, siapa yang diuntungkan, dan siapa yang terhapus dalam narasi tersebut.

Sejarah rakyat, sejarah perempuan, sejarah lokal, sejarah korban kekuasaan semua ini terpinggirkan. Proses historiografis kita masih sangat top-down. Sejarah disusun untuk mengabdi pada stabilitas, bukan refleksi kritis.

Peran Sejarawan: Dari Perekam ke Penafsir

Sejarawan bukan sekadar perekam fakta. Ia penafsir. Dan setiap tafsir mengandung nilai. Itulah mengapa sejarawan harus punya kesadaran etik dan metodologis dalam menulis. Ia harus terbuka soal keterbatasan sumber, keberpihakan sudut pandang, dan potensi distorsi dalam narasi.

Sejarawan juga harus melampaui arsip negara dan buku teks. Mereka harus bersedia menggali sejarah lisan, cerita komunitas, dan pengalaman yang tersembunyi dalam ingatan kolektif masyarakat. Tanpa itu, sejarah hanya menjadi alat kuasa, bukan alat pemahaman.

Pendidikan Sejarah yang Membebaskan

Sejarah harus diajarkan bukan sebagai dogma, tetapi sebagai wacana yang terbuka dipertanyakan. Siswa perlu dikenalkan pada historiografi: bagaimana sejarah dibentuk, bukan sekadar apa isinya. Mereka harus tahu bahwa sejarah tidak netral, dan bahwa sebagai warga negara mereka berhak mengkritisi dan menulis ulang narasi yang tidak adil.

Mengajarkan berpikir historiografis sejak dini akan melahirkan generasi yang lebih kritis, lebih empatik, dan lebih demokratis. Karena siapa yang menguasai sejarah, pada akhirnya juga menguasai masa depan.

Menulis Sejarah adalah Tanggung Jawab Sosial

Di era disinformasi dan manipulasi sejarah, tugas penulis sejarah tidak ringan. Ia harus jadi penjaga integritas narasi, bukan pelayan kekuasaan. Menulis sejarah dengan berpikir historiografis berarti menolak simplifikasi, melawan narasi tunggal, dan membuka ruang bagi yang selama ini dibungkam.

Masa lalu adalah ladang konflik makna. Tapi justru di sanalah sejarah menemukan fungsinya: bukan sebagai warisan beku, tapi sebagai ruang tafsir yang hidup. Maka, mari menulis sejarah dengan keberanian berpikir dan berpikir sejarah dengan keberanian menulis.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

"Dalam Gema Cinta yang Tak Terpadamkan: Refleksi dari Lagu 'Bergema Sampai Selamanya' Karya Nadhif Basamalah"

Ketika Bahagia Hanya Tentang Dia, dan Aku Kehilangan Aku Sendiri

“IJAZAH DITAHAN, MARTABAT DITAWAR: MAY DAY DAN NARASI SENGKARUT NASIB BURUH INDONESIA